ads header

Thursday, May 21, 2020

Plesetan PSBB ala FH UGM

0





LUAR biasa daya tarik poster digital itu. Saya melihatnya dari grup aplikasi percakapan WhatsApp. Masih mengangkat tema aktual: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penggagasnya Kanal Pengetahuan dan Menara Ilmu (KPMI) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM). 

Tema PSBB versi poster itu mungkin terinspirasi maraknya singkatan PSBB yang diplesetkan. Maka tercetuslah perbincangan publik bertemakan “PSBB: Pemerintah Sukanya Basa-Basi?”. Diskusi belum dimulai, diksi tema PSBB sudah menimbulkan kegaduhan publik. Tema itu akhirnya direvisi menjadi “PSBB: Policy Setengah Basa-Basi”. Gara-gara celekit PSBB tersebut, pihak Istana Kepresidenan langsung menghubungi Dekan FH UGM Sigit Riyanto. 

Inilah cara kreatif FH UGM untuk memprovokasi anak-anak muda agar tertarik mengikuti diskusi tersebut. Mengulas kebijakan PSBB di tengah pandemi corona dari perspektif hukum. Terbukti, diskusi rumpi hukum yang ditayangkan secara langsung di kanal Youtube Pengetahuan FH UGM pada Rabu (20/05/2020), pukul 20.30 Wita, ditonton 14 ribu pemirsa. 

Saya menjadi bagian dari diskusi rumpi hukum dengan 14 ribu pemirsa itu. Bukan saja tema diskusinya menarik, saya merasa penasaran dengan para dosen muda FH UGM yang menjadi narasumber. Semua bertemakan PSBB, tapi memiliki singkatan yang berbeda. Laras Susanti, misalnya, dosen Hukum Perdata FH UGM itu kebagian mengulas “PSBB: Penyesatan Soal Bansos dan BPJS”. Wahyu Yun Santoso, dosen Hukum Lingkungan FH UGM didapuk tentang “PSBB: Penyebaran (Virus) Secara Besar-Besaran”. PSBB dengan singkatan yang lain yakni “Peraturan Sering Banget Berubah” menjadi menu sajian Bivitri Susanti, Ahli Hukum Tata Negara. Fatahilah Akbar, dosen Hukum Pidana FH UGM urung hadir. Mestinya ia berbicara mengenai “PSBB: Pembatasan Sosial Bokis-Bokis”. Ketidakhadiran Fatahilah Akbar lantas digantikan oleh Faiz Rahman, dosen Hukum Tata Negara FH UGM. 

Aditya Sewanggara yang memoderatori diskusi menyampaikan, diskusi ini dilatarbelakangi kemirisan melihat #indonesiaterserah. Tagar yang menyiratkan kekecewaan terhadap peraturan saling silang dalam penanganan Covid-19. Paparan para dosen muda FH UGM cukup keras mengkritisi kebijakan pemerintah. Tentu saja kritik yang berlandaskan pikiran akademik. 

Bivitri tampak kecewa melihat peran pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam memenuhi kewajibannya. Menilai pemerintah terlambat dalam merespons wabah corona karena bimbang berdampak pada ekonomi. Ia juga gelisah melihat narasi-narasi pejabat publik yang menyelipkan joke dalam menyikapi wabah ini. 

Melihat kondisi saat ini di mana masyarakat mulai berdesakan di pasar-pasar, kawasan perniagaan, dan fasiltas publik lainnya, menurutnya tidak adil jika masyarakat dipersalahkan. Keadaan ini menurutnya ada akar masalahnya, yakni peraturan yang berubah-ubah dan komunikasi politik yang tidak transparan. 

“Ini bukti penegasan belum ada pelonggaran PSBB hanyalah basa-basi,” tegas Bivitri. 

Yang membuat dirinya semakin miris, DPR yang semestinya fokus mengawasi pandemi, justru menyibukkan diri dengan membahas RUU lain. 


Memberikan kesimpulan terhadap masalah penerapan penanganan Covid-19, Bivitri menilai pemerintah terlambat mengambil kebijakan karena ketidakpercayaan pada sains. Pemerintah juga terlihat bingung dalam penerapan kerangka hukum. Kebingungan antara PSBB atau karantina wilayah. Catatan selanjutnya, tidak ada “komando” yang jelas dari awal dan tidak ada komunikasi yang jelas. 

“Ingat, ini pandemi. Instruksi harus jelas supaya tidak ada kebingungan, kepanikan, dan kekacauan,” pungkasnya. 

Faiz Rahman mencoba mengulas problematika penanganan Covid-19 dengan melihat referensi kebijakan pemerintah. Merujuk pada tiga undang-undang yakni UU Pemerintah Daerah, UU Karantina Kesehatan, dan UU Penanggulangan Bencana. 

Sepaham, Faiz juga menilai adanya inkonsistensi dalam penerapan peraturan telah menyebabkan kebingungan di masyarakat. Juga kebingungan pada tingkat pemerintahan di daerah. 

Mengambil contoh regulasi transportasi lebaran, pelarangan transportasi pada daerah zona merah tidak jelas acuannya ke mana. Ia tidak melihat adanya aturan yang jelas sehingga menimbulkan kebingungan sekaligus memperlihatkan inkonsistensi kebijakan. 

Menurutnya, kesadaran hukum tidak serta merta muncul karena banyaknya pengetahuan. Yang menentukan adalah sikap positif masyarakat dalam mematuhi aturan hukum. Karenanya, menjadi tugas berat bagi pemerintah untuk melahirkan sikap positif dari masyarakat. 

“Pemerintah harus tegas, jelas, dan terbuka. Tegas harus ada kebijakan yang tidak saling silang. Tanggap dalam merespons kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dan terbuka terkait berbagai data yang penting bagi masyarakat,” urainya. 

Zainal Arifin Mochtar lebih keras melontarkan kritik. Ia akui bahwa pemerintah sudah bekerja, tapi seperti bingung. Menarik penanganan wabah Covid-19 dari sudut hukum tata negara, Zainal menganggap pemerintah tidak bisa menjelaskan dengan baik mengenai keadaan bahaya. 


“Aneh kan, kok tiba-tiba mengatakan keadaan darurat lalu mengeluarkan Perppu tentang ekonomi. Semestinya dibuat dulu payung besarnya tentang keadaan bahaya,” paparnya. 

Yang disayangkan lagi, ketika sudah dalam keadaan bahaya, namun pemerintah tidak mengatur keadaan bahaya tersebut. Pemerintah tidak mengeluarkan Perppu secara keseluruhan terhadap tindakan-tindakan yang sudah diambil. 

Sikap diam lembaga DPR yang telah diambil kewenangannya menjadi pertanyaan besar Zainal. Ia mengkhawatirkan adanya titipan pembahasan RUU yang saling tukar menukar antara DPR dan pemerintah. 

“Harus dicurigai, mengapa DPR rajin membahas RUU yang tidak ada kaitanya dengan pendemi covid? Jangan-jangan jadi ajang saling tukar,” kata Zainal. 

Mengajar hukum perdata namun menjadi narasumber pelaksanaan bantuan sosial (Bansos) dan kenaikan iuran BPJS, Laras Susanti merasa perlu untuk menegaskan bahwa hal ini masih terkait dengan persoalan hukum. Sebab menurutnya, ada konsepsi-konsepsi hukum yang melekat pada dua permasalahan tersebut. 

Dampak pandemi memang luar biasa. Berpengaruh pada hak asasi manusia (HAM) dan penghidupan yang layak warga negara. Betapa tidak, data World Health Organization (WHO) menyebut 1 miliar orang se dunia terancam kelaparan. Di Indonesia, belasan juta pekerja telah di-PHK dan angka kemiskinan merangkak naik hingga 40 juta orang. Dan hukum adalah realitas yang dialami masyarakat. 

Kondisi mengenaskan telah diperlihatkan di pelbagai daerah. Ada warga yang tidak punya uang untuk makan karena tak punya pendapatan. Kebijakan PSBB yang tidak jelas telah membuat sektor swasta menjadi bingung. Peraturan yang berubah-ubah membuat keadaan ekonomi semakin sulit. 

Dari perspektif HAM, jika masyarakat mempertanyakan dan mengkritisi bantuan sosial, adalah kewajiban bagi negara untuk memberi perhatian. Mengapa? Sebab bantuan pemerintah bukanlah belas kasih pemerintah, tapi sudah menjadi tugas pemerintah. 


“Masyarakat kita bukan masyarakat pemalas, cemen, atau tidak mau bekerja. Banyak dari mereka membiayai banyak tanggungan. Tidak hanya keluarga, juga ada yang membiayai orang tua,” ujar Laras. 

Laras harus mengatakan bahwa Indonesia memiliki problem dalam pendataan. Tidak heran apabila daerah dan pusat saling mengkritisi bantuan sosial. Pada persoalan lain, model pelatihan yang menjadi tawaran pemerintah tidak diperlukan oleh mereka yang kehilangan pekerjaan. Korban PHK lebih membutuhkan bantuan langsung karena tidak lagi berpendapatan. 

“Banyak yang di-PHK adalah full skill. Yang dibutuhkan adalah bantuan langsung. Mereka tidak perlu lagi training,” ujarnya. 

Dari diskusi rumpi hukum ala FH UGM, saya memberi catatan bahwa wabah Covid-19 telah membuka bobrok kita. Kita diperlihatkan negara yang bekerja secara tidak tertata. Ingin juga mengatakan bahwa tidak semua yang dilakukan negara adalah baik. Benar atau tidak pemerintah, kitalah yang menjadi korban. 

Akademisi muda FH UGM telah melihat permasalahan Covid-19 dari apa yang mereka pahami. Kritik keras mereka adalah bagian dari upaya agar pemerintah bisa tampil lebih baik. (*) 

Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: