ads header

Monday, October 7, 2019

Rahmad Mas'ud, Antara Mimpi dan Realitas

0
ITU SUDAH: Penulis (kedua dari kanan) bersama Wakil Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas'ud.


Jauh sebelum terpilih sebagai Wakil Wali Kota Balikpapan, saya tahu Rahmad Mas’ud sudah membangun mimpi besar. Bukan untuk lima atau sepuluh tahun, tetapi untuk 100 tahun ke depan.


Benar, bahwa mimpi 100 tahun ke depan Kota Balikpapan itu adalah ide-ide dari warga kota yang menjadi peserta lomba karya tulis ilmiah. Namun, saya melihatnya dari perspektif yang lain. Inilah bentuk kolaborasi pemikiran antara pemimpin dan warga yang dipimpin. Dalam bahasa yang lebih keren, ekonom Rhenald Kasali memberi istilah disruptive leader

Ini jelas membutuhkan mindset baru: disrupted mindset. Saya melihat mindset baru itu melekat pada diri Rahmad Mas’ud. Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha, ia berupaya mendorong ke luar perilaku “penjaga warung” aparatur pemerintah. Mengubah tradisi lama pemerintahan menjadi tradisi baru corporate mindset

Tidak mudah bagi seorang Rahmad Mas’ud untuk menjernihkan kolam keruh birokrasi. Sebagai “pembantu” wali kota, lazim diketahui wakil wali kota cenderung diposisikan sebagai pelengkap saja. Kalaupun ada pembagian tugas, bukan berarti kedudukan keduanya sama. Sebab kepemimpinan pemerintahan tetap ada di tangan wali kota. 

Sudah pasti Rahmad Mas’ud ingin mewujudkan mimpi-mimpi besarnya. Berupaya dengan caranya untuk memberi warna pada arah kebijakan pemerintahan. Maklum, publik memiliki ekspektasi besar terhadap dirinya. Publik ingin menyaksikan pertunjukan kecerdikan akal seorang pengusaha bernama Rahmad Mas’ud untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). 

Semua orang bisa berteori, jago berpidato, mahir berkomentar, lihai berdebat, dan pandai mencari popularitas. Namun, tidak semua orang bisa menyelesaikan konflik, merancang kebijakan, mencari solusi, menangani masalah-masalah Kota Balikpapan yang kompleks. 

Kemampuan menggerakkan massa dan menggerakkan roda pemerintahan adalah dua hal yang berbeda. Kepala daerah yang baik adalah kepala daerah yang mempunyai dua kemampuan ini. 

Sejak awal memasuki pemerintahan, Rahmad Mas’ud berupaya untuk menjadi apa yang dalam dunia manajemen dilukiskan sebagai problem solver atau trouble shooter

Saya melihat naluri pebisnis Rahmad Mas’ud cepat mengindentifikasi potensi-potensi yang bisa menggelembungkan PAD. Sebagai pelaku usaha, matanya bak elang melihat ceruk potensi baru untuk mendongkrak PAD. Perusahaan Daerah (Perusda)-lah yang menjadi katalisator. 

Tentu, tidak semua masalah yang berkaitan dengan upaya mendongkrak PAD harus diselesaikan oleh kepala daerah dan wakilnya. Untuk masalah-masalah taktis, eksekutornya ada pada sekretaris daerah, SKPD terkait, dan direktur Perusda. 

Setidaknya, saya mencatat Rahmad Mas’ud memiliki beberapa gagasan untuk meroketkan PAD. Di antaranya optimalisasi aset menjadi sentra-sentra ekonomi. Semisal, mengoperasionalkan kembali eks Pelabuhan Somber. Masih di bidang kepelabuhanan, Rahmad juga melirik potensi terminal peti kemas di Kawasan Industri Kariangau (KIK). 

“Selain memiliki potensi besar menyumbang PAD, dua sektor itu juga bisa menekan harga komoditas yang selama banyak didatangkan dari luar daerah,” kata Rahmad.

Saya juga mengetahui hingga memasuki tahun keempat pemerintahan Rizal Effendi-Rahmad Mas’ud, sektor usaha di bidang kepelabuhan yang digadang-gadang sebagai primadona PAD belum juga terealisasi.

Apa yang menjadi penyebabnya? Saya tidak mau berspekulasi. Yang pasti, wali kota dan wakil wali kota sudah mengambil keputusan. Saya juga meyakini dengan latar belakangnya sebagai pengusaha di sektor kemaritiman, Rahmad Mas’ud sudah memberikan opsi-opsi dan melakukan assessment terhadap opsi-opsi tersebut.

Maka, penelusuran selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mengevaluasi eksekutor program primadona PAD tersebut. Tentu saja bola itu ada di tangan Perusda. Juga SKPD terkait yang bersentuhan dengan program “mencetak” uang tersebut. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54/2017 tentang BUMD tegas mengatur bahwa kewenangan mengambil keputusan ada pada kepala daerah. 

Ada persepsi bahwa wakil kepala daerah tidak ada perbedaan kedudukannya dengan kepala daerah, kecuali hanya pada pembagian tugas yang diatur oleh UU. Itupun dalam praktiknya dapat disepakati di antara keduanya ketika kesepakatan pencalonan berlangsung. 

Sayangnya, setelah mereka terpilih, kepala daerah merasa paling berhak mengatur tugas wakilnya, dan tidak lagi berkomitmen dengan kesepakatan yang telah dibicarakan sebelumnya dengan wakil kepala daerah. Inilah di antara faktor mengapa konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah sering muncul pasca pelantikan seusai pilkada dibanyak daerah. Demikian pandangan Asrinaldi A, Ketua Program Magister Ilmu Politik Universitas Andalas. 

Penyebab masalah ini adalah ambigunya peraturan perundang-undangan yang membagi tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ini dapat ditelusuri dari jabaran Pasal 66 ayat 1 UU No 23 Tahun 2014 yang menegaskan tugas wakil kepala daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Namun, jika diperhatikan pengaturan ini terkesan umum. Untuk melaksanakan tugas wakil kepala daerah, maka kepala daerah harus menerbitkan surat keputusan penugasan wakilnya. Bahkan dalam praktiknya justru yang terkesan dominan kepala daerah dalam melaksanakan tugas pemerintahan.

Itupun bergantung pada keinginan kepala daerah dalam menugaskannya. Sepanjang kepala daerah bisa melaksanakan tugas-tugas tersebut, maka surat keputusan tidak akan pernah dibuatkan untuk wakilnya. Kalaupun surat keputusan dibuat, maka penugasan wakil tersebut dibatasi pada tugas pemerintahan yang kurang strategis. 

Gejala seperti ini acapkali membuat hubungan keduanya tidak harmonis. Persoalan ini menjadi besar tatkala kepala daerah merasakan adanya persaingan dengan wakilnya dalam mengambil pengaruh di birokrasi pemerintahan. 

Apalagi jika persaingan tersebut dikaitkan dengan pilkada berikutnya. Biasanya, kepala daerah akan membatasi ruang gerak wakil kepala daerah, apalagi untuk menguatkan posisinya di hadapan masyarakat.

Pertanyaan terakhir sebagai penutup tulisan ini, apakah telah terjadi disharmonisasi antara Wali Kota Rizal Effendi dan Wakil Wali Kota Rahmad Mas’ud? Atau masih seperti judul lagu “Teman tapi Mesra” – Duo Maia? Wallahu a’lam. Saya belum bertanya tentang itu. Itu sudah! (*)

Author Image
AboutAdmin

Menulis untuk berbagi. Terima kasih sudah membaca

No comments: